Dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam
maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu
menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata,
dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan
Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip- prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah,
yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peyelenggaraan pemerintahan daerah tidak selalu
dibawah komando dari negara untuk melakukan suatu perubahan dalam rangka
perkembangan. Fenomena adanya perjanjian
internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mitranya di luar
negeri menimbulkan implikasi yuridis konstitusional. Jika hukum nasional tidak
memberikan ketegasan yuridis terhadap perbuatan hukum yang dilakukan pemerintah
daerah maka akan menimbulkan persoalan yuridis bagi akibat-akibat hukum yang
timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah daerah itu, baik
dalam skala nasional terlebih internasional.
Tidak
sedikit pihak yang meragukan kemampuan pemerintah daerah untuk menjalin
hubungan luar negeri, apakah pemerintah daerah mampu untuk mewujudkannya? Sejauh
mana upaya yang dilakukan pemerintah daerah untuk ikut serta melakukan
penyelenggaraan hubungan luar negeri?
Penyelenggaraan
pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, bahwa pemerintahan daerah
yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan,
dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah daerah yang
berada dibawah jajaran kuasa negara memang seringkali bergantung terhadap
segala keputusan negara. Seakan – akan tanpa adanya persetujuan dari negara
yang diwakili aparatur penyandang predikat pejabat tinggi negara, daerah tidak
mampu untuk melakukan apa-apa. Disadari atau tidak, secara struktural
pemerintah daerah memang jauh berada dibawah jajaran pemerintah negara, namun
bukan tidak mungkin pemerintah daerah melakukan hal yang akan mendatangkan
perubahan dan melaju mengikuti perkembangan seperti yang dilakukan oleh negara.
Terkadang sebuah struktural pemerintahan terlalu terfokus untuk mengikuti
struktur yang berada diatasnya, sehingga melupakan bahwa mereka punya hukum
yang mengatur segala sesuatunya.
Berdasarkan
UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah, pemerintah kewenangan dapat mengadakan kerjasama
internasional. diberlakukannya
UU No. 22 tahun 1999, Pemerintah Daerah telah mendapatkan ruang yang lebih luas
untuk menyelenggarakan hubungan internasional dan berinteraksi langsung dengan
aktor-aktornya. Berbagai kegiatan tersebut meliputi kerjasama teknik dan
kerjasama kota/provinsi kembar (sister city) dan promosi berbagai keunggulan
yang dimiliki oleh Daerah.
Pelaksanaan kerjasama luar
negeri seyogyanya dilakukan dengan dukungan pemahaman tentang berbagai
ketentuan dan tatacara yang berlaku di dunia internasional. Untuk itu,
pelaksanaan hubungan luar negeri memerlukan berbagai pertimbangan yang matang
dari berbagai aspek sejak tahap perencanaan, terutama dalam perumusan suatu
naskah perjanjian kerjasama dengan pihak internasional. Hal ini diperlukan
dalam rangka menguasai seluk beluk mekanisme dan kebiasaan-kebiasaan yang
terjadi dalam berbagai forum negosiasi dan tata cara penanganan isu-isu
internasional.
Ada tiga
hal yang yang menyebabkan dimungkinkannya pemerintah daerah melakukan
kerjasama, yakni :
1.
Secara filosofis kedua undang-undang berkehendak untuk
berpemerintahan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan.
2.
Secara sosiologis kedua undang-undang mengadopsi kebutuhan
akan peran serta masyarakat dalam kehidupan pemerintahan, keanekaragaman
daerah, tantang global dan perkembangan keadaan dalam dan luar negeri.
3.
Secara politis, kedua undang-undang merupakan intrumen
pemerintah untuk melakukan desentralisasi kewenangan agar beban pemerintah
pusat mengalir secara sentrifugal.
Berdasarkan UU no. 32
tahun 2004, Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih
memperhatikan aspek-aspek hubungan antarsusunan pemerintahan
dan antarpemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan
memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak
dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam
kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Mengingat
pentingnya peran aparatur Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan keberhasilan
diplomasi, kapasitas
aparatur Pemerintah Daerah lebih dapat ditingkatkan khususnya dalam menangani
berbagai kerjasama dan perjanjian internasional. Dengan demikian,
praktek-praktek penyelenggaraan diplomasi dan kerjasama teknik dapat berjalan
sesuai dengan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU No.
24/2000 tentang Perjanjian Internasional, serta aman secara politis, yuridis,
teknis dan segi keamanan. Peningkatan ini merupaka salah satu upaya yang dilakukan oleh
pemerintah daerah dalam mewujudkan hubungan luar negeri.
Disadari,
Kapasitas hukum dari pemerintah daerah untuk dapat mengadakan kerjasama
internasional adalah terbatas. Bila naskah perjanjian internasional yang hendak
dilakukan oleh pemerintah daerah ada keterkaitan dengan bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama,
perjanjian yang hendak dilakukan memerlukan kekuatan penuh Pemerintah.
Perjanjian yang dilakukan menjadi perjanjian payung bagi perjanjian teknis.
Tetapi bila naskah perjanjian yang hendak dilakukan pemerintah daerah tidak ada
keterkaitan dengan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional, dan agama maka naskah perjanjian harus dianggap
perjanjian teknis yang bisa dilakukan atas kapasitas pemerintah daerah sendiri.
Menurut
Pasal 2 (1a) Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, Perjanjian
internasional adalah persetujuan yang dilakukan oleh negara-negara, bentuknya
tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah terdiri dari satu atau
lebih instrumen dan apa pun namanya.. Maksud pembentuk treaty mensyaratkan
pesertanya harus negara dan bentuknya tertulis semata-mata untuk memperkecil
ruang lingkupnya. Sedangkan untuk sengketa yang pihaknya bukan negara misalnya
organisasi internasional pengaturannya ditemukan dalam Konvensi Wina 1986
tentang perjanjian internasional untuk sesama organisasi internasional atau
organisasi dengan negara. Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian
internasional apabila perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional.
Jadi, walaupun para pihaknya adalah negara bila ada klausul bahwa para pihak
tunduk pada hukum nasional salah satu peserta maka perjanjian itu tidak dapat
digolongkan sebagai perjanjian internasional tetapi dapat disebut kontrak.
Di
Indonesia, perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun
2000. Perjanjian internasional menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 adalah
perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum
internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban
di bidang hukum publik. Undang-undang tentang perjanjian internasional ini
sebenarnya merupakan pelaksanaan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang
memberikan kewenangan kepada presiden untuk membuat perjanjian internasional
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat dapat
melakukan pengawasan terhadap pemerintah walaupun tidak diminta persetujuan
sebelum pembuatan perjanjian internasional tersebut karena pada umumnya
pengesahan dengan keputusan presiden hanya dilakukan bagi perjanjian
internasional di bidang teknis.
Bersamaan
dengan menguatnya otonomi daerah, Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 memberikan
kewenangan pada daerah untuk membuat perjanjian internasional. Hal ini tampak
dalam pasal 5 yang menetapkan bahwa lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik
departemen maupun non departemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai
rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan
konsultasi dan koordinasi dengan menteri luar negeri.
Setiap
kegiatan yang dilakukan pemerintah dalam menjalin hubungan internasional tentu
saja membutuhkan proses seperti yang telah dijelaskan diatas. Dalam melakukan
hubungan tersebut, tidak bisa dilakukan secara manual dengan mengadakan
pertemuan yang berkelanjutan yang mengikutsertakan seluruh pihak terlibat,
dalam kata lain akan menimbulkan dampak pada perekonomian negara, apalagi
daerah. Oleh karena kebutuhan akan proses demi terwujudnya penyelenggaraan
kerjasama oleh pemerintah daerah, disadari sangat dibutuhkan peralatan yang
akan menunjang dilakukannya komunikasi dan koordinasi dengan pihak luar negeri.
Semakin
modern nya zaman saat sekarang ini, penggunaan teknologi (high tech) mengambil
peranan penting. Tidak jarang dilakukannya koneksi antar negara menggunakan
sistem informasi manajemen, didukung oleh perangkat elektronik ( HP, komputer,
Tab, dll) dan jaringan internet. Proses hubungan internasional dapat dilakukan e-conference,
dan bisa dilakukan ditempat yang berbeda dan diikuti oleh seluruh pihak terlibat.
Terkait fungsi SIM yang dikaitkan dengan alasan diperlukannya SIM dalam
hubungan luar negeri, yakni :
• Jumlah transaksi yang besar, sangat membutuhkan tersedianya informasi.
• Adanya departemenisasi
dalam suatu organisasi, kebutuhan informasi bukan merupakan persoalan yang
sederhana. Kebutuhan informasi bukan hanya berkaitan dengan relasi di luar
organisasi, tetapi juga berkaitan dengan person-person yang ada pada departemen
dalam organisasi yang bersangkutan. Oleh karena itu diperlukan koordinasi dan
komunikasi yang sistematik.
• Semakin kompleksnya kegiatan, akan mempersulit koordinasi dan komunikasi apabila tidak diciptakan
suatu sistem. Akibatnya efisiensi dan efektifitas menjadi sesuatu yang sulit
untuk diwujudkan. .
Permasalahannya adalah bila daerah telah melakukan koordinasi, tidak
memperoleh persetujuan dari menteri luar negeri, tetapi daerah tetap
melanjutkan pembuatan perjanjian itu. Daerah akan merasa tidak bersalah karena
ia telah melakukan sesuai prosedur yang ditentukan UU No. 24 Tahun 2000 yang
hanya mensyaratkan melakukan konsultasi dan koordinasi, tidak mensyaratkan
harus memperoleh persetujuan dari menteri luar negeri. Di samping itu, UU No.
24 Tahun 2000 juga tidak mengatur apa konsekuensi hukum yang akan muncul apabila
daerah tetap melakukan perjanjian internasional yang tidak memperoleh
persetujuan dari menteri luar negeri.
Modul Teknologi Informasi Komunikasi, Sistem Informasi Manajemen
dan Electronic Government.
Undang – Undang No. 22 Tahun 2009.
Undang - Undang No. 24
tahun 2000.
Undang – Undang No. 32 tahun 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar