Kamis, 07 November 2013

“Upaya Pemerintah Daerah Demi Terwujudnya Penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri”


 
Dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip- prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peyelenggaraan pemerintahan daerah tidak selalu dibawah komando dari negara untuk melakukan suatu perubahan dalam rangka perkembangan.  Fenomena adanya perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mitranya di luar negeri menimbulkan implikasi yuridis konstitusional. Jika hukum nasional tidak memberikan ketegasan yuridis terhadap perbuatan hukum yang dilakukan pemerintah daerah maka akan menimbulkan persoalan yuridis bagi akibat-akibat hukum yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah daerah itu, baik dalam skala nasional terlebih internasional.
Tidak sedikit pihak yang meragukan kemampuan pemerintah daerah untuk menjalin hubungan luar negeri, apakah pemerintah daerah mampu untuk mewujudkannya? Sejauh mana upaya yang dilakukan pemerintah daerah untuk ikut serta melakukan penyelenggaraan hubungan luar negeri?

Penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,  bahwa  pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah daerah yang berada dibawah jajaran kuasa negara memang seringkali bergantung terhadap segala keputusan negara. Seakan – akan tanpa adanya persetujuan dari negara yang diwakili aparatur penyandang predikat pejabat tinggi negara, daerah tidak mampu untuk melakukan apa-apa. Disadari atau tidak, secara struktural pemerintah daerah memang jauh berada dibawah jajaran pemerintah negara, namun bukan tidak mungkin pemerintah daerah melakukan hal yang akan mendatangkan perubahan dan melaju mengikuti perkembangan seperti yang dilakukan oleh negara. Terkadang sebuah struktural pemerintahan terlalu terfokus untuk mengikuti struktur yang berada diatasnya, sehingga melupakan bahwa mereka punya hukum yang mengatur segala sesuatunya.
Berdasarkan UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, pemerintah kewenangan dapat mengadakan kerjasama internasional. diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999, Pemerintah Daerah telah mendapatkan ruang yang lebih luas untuk menyelenggarakan hubungan internasional dan berinteraksi langsung dengan aktor-aktornya. Berbagai kegiatan tersebut meliputi kerjasama teknik dan kerjasama kota/provinsi kembar (sister city) dan promosi berbagai keunggulan yang dimiliki oleh Daerah.
Pelaksanaan kerjasama luar negeri seyogyanya dilakukan dengan dukungan pemahaman tentang berbagai ketentuan dan tatacara yang berlaku di dunia internasional. Untuk itu, pelaksanaan hubungan luar negeri memerlukan berbagai pertimbangan yang matang dari berbagai aspek sejak tahap perencanaan, terutama dalam perumusan suatu naskah perjanjian kerjasama dengan pihak internasional. Hal ini diperlukan dalam rangka menguasai seluk beluk mekanisme dan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam berbagai forum negosiasi dan tata cara penanganan isu-isu internasional.
Ada tiga hal yang yang menyebabkan dimungkinkannya pemerintah daerah melakukan kerjasama, yakni :
1.      Secara filosofis kedua undang-undang berkehendak untuk berpemerintahan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan.
2.      Secara sosiologis kedua undang-undang mengadopsi kebutuhan akan peran serta masyarakat dalam kehidupan pemerintahan, keanekaragaman daerah, tantang global dan perkembangan keadaan dalam dan luar negeri.
3.      Secara politis, kedua undang-undang merupakan intrumen pemerintah untuk melakukan desentralisasi kewenangan agar beban pemerintah pusat mengalir secara sentrifugal.
Berdasarkan UU no. 32 tahun 2004, Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya  kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Mengingat pentingnya peran aparatur Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan keberhasilan diplomasi, kapasitas aparatur Pemerintah Daerah lebih dapat ditingkatkan khususnya dalam menangani berbagai kerjasama dan perjanjian internasional. Dengan demikian, praktek-praktek penyelenggaraan diplomasi dan kerjasama teknik dapat berjalan sesuai dengan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional, serta aman secara politis, yuridis, teknis dan segi keamanan. Peningkatan ini merupaka salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mewujudkan hubungan luar negeri.
Disadari, Kapasitas hukum dari pemerintah daerah untuk dapat mengadakan kerjasama internasional adalah terbatas. Bila naskah perjanjian internasional yang hendak dilakukan oleh pemerintah daerah ada keterkaitan dengan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama, perjanjian yang hendak dilakukan memerlukan kekuatan penuh Pemerintah. Perjanjian yang dilakukan menjadi perjanjian payung bagi perjanjian teknis. Tetapi bila naskah perjanjian yang hendak dilakukan pemerintah daerah tidak ada keterkaitan dengan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama maka naskah perjanjian harus dianggap perjanjian teknis yang bisa dilakukan atas kapasitas pemerintah daerah sendiri.
Menurut Pasal 2 (1a) Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, Perjanjian internasional adalah persetujuan yang dilakukan oleh negara-negara, bentuknya tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah terdiri dari satu atau lebih instrumen dan apa pun namanya.. Maksud pembentuk treaty mensyaratkan pesertanya harus negara dan bentuknya tertulis semata-mata untuk memperkecil ruang lingkupnya. Sedangkan untuk sengketa yang pihaknya bukan negara misalnya organisasi internasional pengaturannya ditemukan dalam Konvensi Wina 1986 tentang perjanjian internasional untuk sesama organisasi internasional atau organisasi dengan negara. Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian internasional apabila perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional. Jadi, walaupun para pihaknya adalah negara bila ada klausul bahwa para pihak tunduk pada hukum nasional salah satu peserta maka perjanjian itu tidak dapat digolongkan sebagai perjanjian internasional tetapi dapat disebut kontrak.
Di Indonesia, perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Perjanjian internasional menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Undang-undang tentang perjanjian internasional ini sebenarnya merupakan pelaksanaan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pengawasan terhadap pemerintah walaupun tidak diminta persetujuan sebelum pembuatan perjanjian internasional tersebut karena pada umumnya pengesahan dengan keputusan presiden hanya dilakukan bagi perjanjian internasional di bidang teknis.
Bersamaan dengan menguatnya otonomi daerah, Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 memberikan kewenangan pada daerah untuk membuat perjanjian internasional. Hal ini tampak dalam pasal 5 yang menetapkan bahwa lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi dengan menteri luar negeri.
Setiap kegiatan yang dilakukan pemerintah dalam menjalin hubungan internasional tentu saja membutuhkan proses seperti yang telah dijelaskan diatas. Dalam melakukan hubungan tersebut, tidak bisa dilakukan secara manual dengan mengadakan pertemuan yang berkelanjutan yang mengikutsertakan seluruh pihak terlibat, dalam kata lain akan menimbulkan dampak pada perekonomian negara, apalagi daerah. Oleh karena kebutuhan akan proses demi terwujudnya penyelenggaraan kerjasama oleh pemerintah daerah, disadari sangat dibutuhkan peralatan yang akan menunjang dilakukannya komunikasi dan koordinasi dengan pihak luar negeri.
Semakin modern nya zaman saat sekarang ini, penggunaan teknologi (high tech) mengambil peranan penting. Tidak jarang dilakukannya koneksi antar negara menggunakan sistem informasi manajemen, didukung oleh perangkat elektronik ( HP, komputer, Tab, dll) dan jaringan internet. Proses hubungan internasional dapat dilakukan e-conference, dan bisa dilakukan ditempat yang berbeda dan diikuti oleh seluruh pihak terlibat. Terkait fungsi SIM yang dikaitkan dengan alasan diperlukannya SIM dalam hubungan luar negeri, yakni :
      Jumlah transaksi yang besar, sangat membutuhkan tersedianya informasi.
      Adanya departemenisasi dalam suatu organisasi, kebutuhan informasi bukan merupakan persoalan yang sederhana. Kebutuhan informasi bukan hanya berkaitan dengan relasi di luar organisasi, tetapi juga berkaitan dengan person-person yang ada pada departemen dalam organisasi yang bersangkutan. Oleh karena itu diperlukan koordinasi dan komunikasi yang sistematik.
      Semakin kompleksnya kegiatan, akan mempersulit koordinasi dan komunikasi apabila tidak diciptakan suatu sistem. Akibatnya efisiensi dan efektifitas menjadi sesuatu yang sulit untuk diwujudkan. .
Permasalahannya adalah bila daerah telah melakukan koordinasi, tidak memperoleh persetujuan dari menteri luar negeri, tetapi daerah tetap melanjutkan pembuatan perjanjian itu. Daerah akan merasa tidak bersalah karena ia telah melakukan sesuai prosedur yang ditentukan UU No. 24 Tahun 2000 yang hanya mensyaratkan melakukan konsultasi dan koordinasi, tidak mensyaratkan harus memperoleh persetujuan dari menteri luar negeri. Di samping itu, UU No. 24 Tahun 2000 juga tidak mengatur apa konsekuensi hukum yang akan muncul apabila daerah tetap melakukan perjanjian internasional yang tidak memperoleh persetujuan dari menteri luar negeri. 

DAFTAR PUSTAKA

Modul Teknologi Informasi Komunikasi, Sistem Informasi Manajemen dan Electronic Government.
Undang – Undang No. 22 Tahun 2009.
Undang  - Undang No. 24 tahun 2000.
Undang – Undang No. 32 tahun 2004.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar